Sebelum Mengkritik, Ngaca Dulu…


image

Sebelum mengkritik sopir yang ugal-ugalan, penumpang harus “ngaca” terlebih dahulu. Apakah si penumpang punya hati yang lebih bersih dan memiliki kuantitas ibadah lebih baik daripada sang sopir?

Jangan-jangan, selain tak punya hati yang bersih dan tidak rajin ibadah, si penumpang malah tidak bisa menyetir sama sekali?

Demikian kira-kira logika berfikir mayoritas masyarakat dewasa ini. “Mengkritik boleh, namun dengan catatan, si pengkritik harus lebih baik daripada orang yang dikritik. Pengkritik haruslah orang yang sudah tak punya cela, dan tak punya dosa barang sebesar upil,” begitu orang-orang yang sering ngeles dari suatu kritik.

Padahal, untuk menilai kualitas mengemudi si sopir, tentu kita tidak perlu titel tertentu, seperti profesor, doktor, ustaz, atau kiai. Anak-anak yang belajar di PAUD pun pasti tahu, jika sopir yang ugal-ugalan akan membahayakan nyawa para penumpang.

Dalam konteks ini, sebenarnya kritik dari penumpang merupakan hal yang amat wajar. Yang tidak wajar, tentu saja pola pikir “ortodoks” sang sopir yang mempertahankan argumentasinya bahwa orang yang mengkritik harus lebih baik daripada objek kritiknya.

Ada banyak permasalahan sosial di negeri ini yang akhirnya tidak menemukan solusi karena sebagian masyarakatnya masih berpikir kolot. Misalnya, seseorang yang mengkritik suara Toa masjid yang terlalu nyaring haruslah orang yang alim, rajin ibadah, dan berhati bersih.

Lalu di dalam pola pikir ortodoks tersebut, muncul berbagai argumentasi yang cenderung menyalahkan orang yang menyampaikan kritik. Si pengkritik harus bersiap-siap menerima tuduhan sebagai manusia anti zikir, anti wirid, dan anti sholawat. Bahkan, tidak menutup kemungkinan kita akan dituduh sebagai anti Islam, hanya karena mengkritik suara Toa masjid tersebut.

Lalu, bermodal kesimpulan yang tergesa-gesa itu, mereka mengatakan bahwa sebelum mengkritik orang lain, seseorang harus introspeksi diri terlebih dahulu. Apalagi orang yang dikritisi merupakan orang-orang “ahli agama” yang fasih membaca Alquran dan hafal di luar kepala susunan zikir dan wirid yang diajarkan di pesantren Salaf.

Padahal, maksud si pengkritik tentu sangat baik. Orang yang tinggal di sekitar kawasan masjid akan merasa lega apabila suara yang keluar dari Toa masjid terdengar lembut dan merdu. 

Tapi bukan masyarakat kita jika tidak kolot dengan sesuatu yang bernama tradisi. Tak salah ketika Gusdur pernah berkelakar bahwa umat yang paling dekat dengan Tuhannya adalah umat Nasrani, karena memanggil Tuhan dengan sebutan “Bapa”. Selanjutnya, ada umat Hindu yang cukup dekat dengan Tuhannya karena memanggil dengan sebutan “Om”. 

Yang paling jauh dari Tuhannya justru orang Islam karena mereka harus susah payah memanggil Tuhan menggunakan Toa.

Belum lama ini, Haji Parkesit menasehati saya. Sebelum mengkritik beliau yang hobi dugem dan main perempuan, saya disuruh ngaca terlebih dahulu. “Antum sudah pernah nginjek Mekkah apa belum,” begitu kata beliau.

Tinggalkan komentar